H.O.S Tjokroaminoto

H.O.S Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia

Oleh: Humaidi [1]

Catatan Pengantar

Dalam kontruksi sejarah Indonesia, perdebatan antara kelompok nasionalis sekuler dengan nasionalis-agama tidak pernah selesai. Keduanya terus bertarung memperebutkan hegemoni dalam kekuasaan. Para sejarawan Indonesia cenderung menelusuri pertarungan tersebut sejak perdebatan piagam Jakarta, tetapi ada juga yang mengambil klaim lebih jauh lagi hingga pertarungan dalam tubuh Sarekat Islam di tahun 1910-an.

Beberapa studi sejarah mengenai hal diatas, memunculkan anggapan bahwa dalam pertarungan itu, kelompok nasionalis-sekuler senantiasa selalu menjadi kelompok pemenang. Klaim ini mungkin benar, tetapi pada beberapa kasus, kemenangan kelompok sekuler bukannya tanpa syarat. Terdapat banyak contoh dimana pergumulan politik di Indonesia telah menghasilkan kultur politik hibrida, yang mencampur-baurkan ide-ide yang mungkin secara prinsip memiliki perbedaan. Dengan bahasa lain, kepentingan “kelompok Islam” juga sudah membaur didalamnya.

Adanya kultur hibrida ini, menyiratkan bahwa kontruksi religiusitas/keberagamaan di Indonesia mengalami proses modifikasi. Dalam arti agama yang datang tidak pernah “taken for granted”, melainkan mengalami adaptasi dalam bentuk akulturasi (percampuran dengan budaya setempat). Dalam konteks politik, hal ini sangat tampak terjadi ketika munculnya pergerakan nasional. Ide-ide nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial yang menjadi wabah di seantero dunia, mulai di pikirkan oleh para pemikir Islam di Indonesia. Hasilnya, lahirlah pemikiran yang menyebutkan bahwa nasionalisme dan Islam adalah suatu hal yang memiliki kepentingan yang sama, tidak bertentangan. 

Tulisan yang coba disajikan dalam paper ini, mencoba menelusuri faktisitas cara berfikir seorang tokoh Sarekat Islam (SI) yaitu H.O.S Tjokroaminoto. Hal ini dinilai penulis penting, mengingat Tjokroaminoto adalah kunci untuk membuka tabir pemikiran bagaimana tokoh Islam memikirkan nasionalisme dalam konteks ke-Indonesiaan, melewati tapal batas sektarian dan primordial. Selain itu mempelajari cara manusia berfikir pada zamannya, dapat menggambarkan sebuah struktur jiwa jaman yang sedang membentuk –bukan terbentuk-. Dan yang paling penting, belum adanya sejarawan yang mencoba memikirkan pemikiran Tjokro secara tematis.

Pemikiran teman-teman seangkatan Tjokro, seperti Haji Misbach, Mas Marco, Dr. Sutomo, Wahidin serta Tjipto Mangunkusumo sudah banyak ditulis orang. Bahkan Sukarno, Kartosuwiryo dan Musso, yang notabenenya adalah murid-murid Tjokro juga telah banyak ditulis orang. Lantas mengapa Sang Guru, kita telantarkan, padahal -jika boleh mengklaim- Tjokro adalah guru bagi nasionalisme dan aktivis pergerakan di Indonesia. Sadar atau tidak, ia adalah ruh yang sesungguhnya bagi aktivis pergerakan hingga sekarang. 

Tjokroaminoto dan Perjuangan Nasionalisme

Oemar Said Tjokroaminoto lahir pada 1882, dari keluarga priyayi di Ponorogo.  Pada awalnya, ia juga mengikuti jejak kepriyayian ayahnya, sebagai pejabat pangreh praja. Ia masuk pangreh praja pada tahun 1900 setelah menamatkan studi di OSVIA, Magelang. Pada tahun 1907, ia keluar dari kedudukannya sebagai pangreh pradja karena ia muak dengan praktek sembah-jongkok yang dianggapnya sangat berbau feodal. Ia kemudian hijrah ke Surabaya, ikut sekolah malam tehnisi dan kemudian bekerja menjadi tehnisi di pabrik gula Rogojampi. Setelah SI berdiri, ia keluar dari pekerjaan dan menjadi pemimpin pergerakan di Surabaya. Dari pergerakan inilah –lewat memimpin SI dan Perusahaan Setia Oesaha- ia mampu mencukupi kehidupannya.

Sebagai pemimpin SI, ia dipuja bak ksatria menang setelah perang. Ia dianggap orang yang berbakat dan mampu memikat massa. Bahkan ia juga merupakan guru yang baik, dan mampu melahirkan tokoh-tokoh pergerakan hingga awal kemerdekaan. Diantara murid-murid Tjokro yang terkenal adalah Sukarno, Kartosuwiryo dan juga Musso-Alimin. Sukarno, sebagaimana dikenal luas, adalah murid dan penghuni pondokan Tjokro, serta juga menantu Tjokro.[3] Sukarno menyerap kecerdasan Tjokro, terutama dari gaya berpidato. Pada masa kemerdekaan, Sukarno dikenal sebagai tokoh nasionalis, proklamator dan presiden R.I. Kartosuwiryo, juga pernah beberapa tahun tinggal bersama Tjokro.[4] Setelah kemerdekaan, Kartosuwiro mendirikan Darul Islam sebagai perlawanan terhadap Sukarno. Musso-Alimin, dua tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), juga merupakan murid Tjokro.[5] Keduanya, Pada tahun 1948 di Madiun, juga bertarung dengan Sukarno. Jadi pertarungan Nasionalisme Sukarno- Islam Kartosuwiryo-Komunis Musso/Alimin, adalah pertarungan antara murid-murid Tjokro. Hal ini mengisyaratkan bahwa Tjokro ditafsirkan berbeda oleh para muridnya. Dalam beberapa hal, ide Tjokro lebih dimengerti Sukarno yang mengolahnya menjadi Nasakom, sebagai lambang persatuan nasional.

Disaat masuk dalam wilayah pergerakan nasional, Tjokro pada awalnya mulai dikenal sebagai pemimpin lokal Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Dalam aktivitas-aktivitas SI, Tjokroaminoto yang kemudian menduduki posisi sentral di tingkat pusat, menjadi demikian berpengaruh bukan hanya karena ia adalah redaktur Suara Hindia, tetapi  juga karena tidak adanya orator saingan dalam vargadering-vargadering  SI yang sanggup mengalahkan “suara baritonnya yang berat dan dapat didengar ribuan orang tanpa mikrofon”.[6] Dibawah kepemimpinannya, Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar dan bahkan mendapat pengakuan dari pemerintahan kolonial. Hal ini tidak lain, adalah sebagai hasil pendekatan kooperatif yang dijalankan Tjokroaminoto. 

Ketika terjadi polemik keanggotaan ganda dalam tubuh Sarekat Islam, Tjokro adalah tokoh yang menginginkan persatuan SI dapat dipertahankan. Ia lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai perekat antar pihak yang bertikai, walau dalam beberapa hal ia lebih dekat kepada kelompok SI- Putih. Menjelang perpecahan SI, personalitas Tjokro mulai banyak dipertanyakan. Pada 6, 7 dan 9 Oktober 1920, Dharsono membuat artikel panjang mengkritik Tjokro yang dianggap menyengsarakan SI dengan pengeluaran kepentingan pribadinya yang berjumlah besar (3000 gulden). Dharsono menuduh secara tidak langsung dengan mengatakan bahwa Tjokro terlibat penggelapan, “mengapa CSI tidak punya uang…sedangkan Tjokro kelimpahan”, demikian tulis Dharsono.[7]

Pada Agustus 1921, Tjokro diciduk penguasa Belanda. Hal ini merupakan kesempatan untuk membersihkan nama baiknya, karena dipenjara artinya menjadi martir dan memberinya kekuatan dimasa yang akan datang.[8] Pada April 1922, ia dibebaskan tetapi ia tidak kembali ke Jogjakarta, melainkan ia mendirikan markas baru di Kedung Jati (sebuah kota kecil strategis yang merupakan titik temu jalur kereta api Semarang dan Jogjakarta). Dikota ini, ia mulai memofuskan diri pada persatuan Islam, tetapi independen atau lepas dari Muhammadiyah. Pada tahun itu juga, ia mendirikan Pembangunan Persatuan bersama Raja Mogok, Soepjopranoto untuk menarik dukungan Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB) kepada CSI.[9] Setelah propagandanya gagal, ia pun kembali ke Markas CSI di Jogjakarta. Kelak dari kegagalannya inilah, pada akhirnya Tjokro mulai merubah pandangan persatuan nasionalismenya, menuju pandangan nasionalisme yang dibangun atas dasar Islam. Jika sebelumnya, Islam dipandang secara kurang serius, hanya berfungsi sebatas pemaknaan simbolik. Maka sesudahnya ia mulai merapatkan barisan nasionalisme, dengan menyatukan kelompok Islam terlebih dahulu.  

Menuju Pemikiran Nasionalisme-Islam

Selanjutnya, tepat ketika ia berumur 40 tahun, Tjokro mulai beralih kepada Islam dalam arti yang lebih serius. Pada September 1922, ia mulai menerbitkan artikel berseri “Islam dan Sosialisme” di Soeara Boemiputera dan mencoba mendasarkan pandangan sosialismenya pada Islam. Pada Kongres Al-Islam di Cirebon, 31 Oktober-2 November 1922, ia juga diangkat sebagai ketua kongres. Arti penting kongres ini, seperti dikatakan Agus Salim, yaitu untuk “mendorong persatuan segala golongan orang Islam di Hindia atau Orang Islam di seluruh dunia dan Bantu-membantu” dan melihat Kemal Attaturk sebagai pemimpin teladan yang bekerja demi persatuan Islam (baca, Pan Islamisme).          

Sebagai tokoh SI, ia kemudian melakukan tur propaganda ke pertemuan SI-SI local. Dalam pidatonya ia sudah melakukan pendikotomian antara Islam dan komunis. Baginya SI adalah berdasarkan Islam, dan karena kaum komunis itu Atheis (tidak bertuhan) maka komunisme tidak sesuai dengan SI.[10]  Sesudah kongres CSI di Madiun, 17-23 Februari 1923, Tjokro semakin mengecam kaum komunis. Bahkan ia juga akan membentuk SI dan PSI tandingan, ditempat-tempat dimana kaum komunis melakukan kontrol terhadap SI.[11] Dengan demikian, dimulailah suatu upaya disiplin partai, untuk membersihkan SI dari unsur komunis. Akibatnya kelompok SI pro-komunis, mengadakan kongres tandingan di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923. Dalam forum itu, Tjokro dikecam oleh HM Misbach, bahkan Tjokro dianggapnya sebagai racun karena dianggap melakukan pembohongan dengan dikotomi Islam-komunis. Misbach menuding bahwa Tjokro hendak menjadi raja dan juga mengungkit kembali skandal Tjokro yang pernah diungkap Dharsono. Secara substansial, Misbach juga menolak dikotomi Tjokro, baginya Islam dan komunis adalah sama, karena memperjuangkan sama rata-sama rasa.[12] Kecaman Misbach terhadap Tjokro, mendapat kecaman balik dari Sukarno, sehingga pada akhirnya Misbach-pun meminta maaf atas pidatonya yang menyinggung.

Sambil merapatkan barisan Islam dalam SI, pada 1924 Tjokro kemudian mulai aktif dalam komite-komite pembahasan kekhalifahan yang dicetuskan pemimpin politik Wahabiah di Arabia, Ibnu Saud. Tentu saja, sikap Tjokro kali ini mendapat tantangan dari kelompok Islam-tradisional yang kemudian mendirikan NU.[13] Selanjutnya pecah pemberontakan PKI pada tahun 1925, yang kontra-produktif terhadap gelombang pasang pergerakan nasional. Hal ini juga menimpa kegiatan Tjokroaminoto dan PSI-nya.

Pada 1928, kegiatan kaum pergerakan mulai mengarah kepada suatu persekutuan organisasi. Dalam hal ini, PSI masuk kedalam Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), bersama dengan PNI dan organisasi-organisasi kedaerahan. Untuk mempertahankan PSI dari ancaman nasionalisme sekuler PNI, Tjokro juga mengingatkan anggotanya agar tidak masuk organisasi yang tidak berdasar agama.[14] Sentimen PSI yang menimbulkan serangan balik nasionalis-sekuler serta kecurigaan bahwa akan ada penguasaan atas PPKI yang dilakukan PNI atau PSI, menimbulkan hubungan yang kurang harmonis dalam PPPKI.

Dalam posisi ini, Tjokro bertindak sebagai tokoh kompromi untuk menyelamatkan PSI. Namun, pada 1930, PSI yang mengubah nama menjadi PSII akhirnya keluar dari PPPKI.[15] Dalam kondisi pergerakan politik yang penuh kecurigaan ditambah lagi dengan pembatasan yang dilakukan pemerintahan kolonial, karir politik Tjokro pun berjalan meredup. Pada bulan Desember tahun 1934, Tjokroaminoto pun meninggal dunia pada usia 52 tahun.  

Pemikiran-Pemikiran Tjokroaminoto

Sebenarnya, dalam paparan kehidupan Tjokro diatas, sudah menyiratkan sejauhmana Tjokro memikirkan nasionalisme dan Islam. Namun, penulis melihat ada dua perbedaan dalam diri Tjokro dalam menafsir dan memahami nasionalisme dan Islam. Dan perubahan hal ini terjadi ketika Tjokro berumur 40 tahun, yaitu pada 1922.  Penulis memberi istilah bagi masa sebelum dan sesudah Tjokro berumur 40 tahun dengan dikotomis “Tjokro Muda” dan “Tjokro Tua”. “Tjokro Muda” adalah Tjokro yang bersemangat, dan melihat Islam sebagai alat untuk memperjuangkan nasionalisme, memperjuangkan persatuan nasional. Sementara “Tjokro Tua” adalah Tjokro yang mulai berfikir secara dikotomis yaitu membedakan Islam dan komunisme sebagai bagian terpisah dalam menafsirkan nasionalisme.

Dalam paruh “Tjokro Muda”, kita dapat menemui klaim kecenderungan Islam sebagai alat. Dalam sebuah pidatonya disebuah vargedering di Semarang, Tjokro bercerita mengenai maksud pendirian SI sebagai sebuah perkumpulan yang dipertalikan agama.  Lebih jauh ia mengungkapkan:

Dengan alasan agama itu, kita akan berdaya upaya menjunjung martabat kita kaum bumi putera dengan jalan yang syah.  Menurut dalil dari kitab (kita lupa dalilnya dan namanya kitab tadi, red), orang pun mesti menurut pada pemerintahan rajanya. Siapakah sekarang yang memerintahkan pada kita, bumi putra? Ya, itulah kerajaan Belanda, oleh sebab itu menurut  syara agama islam juga, kita harus menurut kerajaan Belanda. Kita mesti menepi dengan baik-baik dan setia wet wet dan pengaturan belanda yang diadakan buat kerajaan belanda. “[16] Setelah itu ia berkata dengan nada lantang“ lantaran diantara bangsa kita banyaklah kaum yang memperhatikan  kepentingannya sendiri dengan menindas pada kaum yang bodoh. Maka kesatriaan kaum yang begitu sudah jadi hilang dan kesatriaannya sudah berbalik jadi penjilat pantat”[17] 

Untuk mengejar ketertinggalan kaum bumi putera, Tjokro juga tidak lupa menuturkan cerita Subali dan Sugriwa yang mencari Cupu Manik Astragino.  Dalam cerita tersebut, digambarkan mengenai Subali dan Sugriwa yang siap mati untuk mendapatkan senjata itu. Tentu, penceritaan ini adalah sebuah ajakan simbolik, dengan menggunakan pendekatan “world view” masyarakat Jawa. Cupu diartikan sebagai adalah lambang kemajuan, sedang Subali dan Sugriwa adalah merujuk kepada kaum bumi putera yang sedang mengejar kemajuan, yang bersedia mengorbankan diri demi sebuah cita-cita.  Arti penting dari pemaparan ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, kadar pemahaman Tjokro mengenai Islam tidaklah mendalam, cenderung biasa-biasa saja. Ia menjadikan Islam hanya sebatas klaim legitimasi, tetapi ia lupa mendasarkan klaimnya dari kitab apa, ayat apa. Kedua, terlihat watak sinkretis dalam pemahaman ke-Islaman Tjokro. Pada satu sisi ia mengambil pembenaran secara agama, tetapi pada sisi lain ia juga menyandarkan pada cerita wayang yang notabenenya bekas peninggalan budaya hinduisme-jawa yang membekas pada pemahaman golongan Islam abangan.[18]          

Pada perkembangan pemikiran Tjokro selanjutnya, tidak banyak berubah. Saat ia berpidato mengenai Islam, hal ini banyak ditujukan bagi symbol persatuan nasional.  Tjokro misalnya berpendapat bahwa solidaritas bumi putra dibangun atas nama Islam. Dan orang-orang diberitahu bahwa semua anggota SI bersaudara, terlepas dari umur, pangkat dan status.[19]  Pada Kongres CSI 1917 di Batavia, melihat tantangan radikalisme dari Semaun. Tjokro bahkan dengan berani mengatakan:

 

Yang kita inginkan adalah: sama rasa, terlepas dari perbedaan agama. CSI ingin mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian rupa sehingga mencapai (tahap) pemerintahan sendiri. CSI menentang kapitalisme. CSI tidak akan mentolerir dominasi manusia terhadap manusia lainnya. CSI akan bekerjasama dengan saja yang mau bekerja untuk kepentingan ini.

Dengan demikian, apabila kita melihat pidato diatas, maka istilah “sama-rasa” secara awam merujuk kepada konsepsi pembentukan kelas khas Marxis. Entah, apakah disini kosa-kata ini muncul sebagai sesuatu konsep yang sadar, atau hanya bersifat reaktif terhadap Semaun yang saat itu semakin radikal.

Memang, terdapat juga kecenderungan bahwa pada beberapa kesempatan, Tjokro mulai berfikir serius mengenai Islam. Misalnya, adalah kasus artikel “Djojodikoro” dalam Djawi Hiswara yang ditulis pada awal Januari 1918. Dalam artikel itu Martodharsono menulis  bahwa “Gusti Kandjeng Nabi Rasul minum A.V.H gin, minum opium dan kadang suka menghisap opium”. Artikel ini mendapat perhatian Tjokro untuk menunjukkan simpatinya terhadap Islam. Tjokro membalas artikel itu dengan tulisan tandingan, bahkan juga ia membentuk dan memimpin Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) di Surabaya untuk mempertahankan kehormatan Islam, Nabi dan kaum Muslim.[21] Namun terbukti kemudian, bahwa kerja-kerja Tjokro ini bukan hanya bertujuan membela Islam, tetapi juga sebagai alat atau upaya untuk memperluas jaringan politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya berdiri cabang-cabang SI yang berjalan seiring dengan pendirian TKNM.

Hal yang menandai perubahan dalam diri Tjokro, yang membuatnya lebih memikirkan Islam, adalah pada 1922. Ada dua hal yang kiranya dinilai penting atau bahkan memicu terjadinya perubahan dalam diri Tjokro. Pertama, sejak Agustus 1921 hingga April 1922, Tjokro berada dalam penjara. Keadaan ini, tentu saja dilihat Tjokro sebagai suatu proses simbolik untuk melakukan refleksi. Sangat mungkin juga, ada pemaknaan lain bahwa umur 40 tahun dalam penjara, adalah daulat akan keberadaannya sebagai pemimpin pergerakan, sama dengan umur Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi utusan Allah. Kedua, Setelah keluar dari penjara, ia berusaha untuk kembali ke CSI dan menarik pengikut dari kaum buruh. Usahanya ini gagal! Tentunya, hal ini semakin menguatkan perspektif Tjokro bahwa untuk membangun nasionalisme dalam arti yang luas, tidak dapat dibangun dari sesuatu yang general. Nasionalisme harus dibangun atas dasar kesamaan, dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna membersihkannya dari unsur lain. Tjokro percaya hal itu adalah Islam. 

Pemahaman “baru” Tjokro mengenai Islam, secara substansial tampak dalam brosur “Sosialisme didalam Islam”. Brosur ini, selain sebagai hasil kerja pikiran Tjokro, juga sebuah pembentukan opini dan upaya untuk menarik mereka yang sudah teracuni komunis untuk kembali kepada SI.  Brosur tersebut berisikan beberapa hal pokok, yaitu perikemanusiaan sebagai dasar bangunan Islam, perdamaian, sosialisme dan persaudaraan. Islam sama dengan sosialisme karena tiga hal, yaitu unsur kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Dari segi isi, kelihatannya Tjokroaminoto sudah ingin memberi batasan antara Sosialisme Islam dan komunisme. Karena sosialisme Islam, menyandarkan kekuatannya kepada Allah.[22] 

Selanjutnya sebagai bukti kecenderungan pemahaman Islam sebagai sebuah ideology, juga diarahkan secara politik. Sejak 1922 hingga 1924, Tjokro bahkan aktif menjadi pemimpin dari kongres Al-Islam yang disponsori kaum modernis (diantaranya Agus Salim dan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Al-Irsyad). Selanjutnya Tjokro juga amat bersemangat dalam menanggapi isu kekhalifahahan yang digulirkan Ibnu Saud. Hal yang mengakibatkan ia di curigai berpaham Wahabiah, yang kelak menyingkirkan keberadaan empat mazhab yang berkembang di Indonesia (khususnya di Jawa). Jelas, dalam konteks ini ide-ide pan-Islamisme sudah membayang dalam pemikiran Tjokro.  

Pada akhirnya kecenderungan pan-Islamis semakin menguat dalam pemikiran Tjokro. Ketika muncul federasi PPPKI, PSI yang diketuai Tjokro sangat ingin muncul sebagai kekuatan yang menguasainya. Bahkan ia juga semakin keras berpidato mengenai dikotomi nasionalisme Islam dan sekuler. Kaum beragama, harus memilih organisasi yang didasarkan agama, tutur Tjokro. Arti dari gerakan Pan-Islamis Tjokro ini, menyiratkan bahwa setidaknya yang dibayangkan Tjokro adalah sebuah nasionalisme, sebuah kebangsaan yang didasarkan semangat persatuan nasib. Islam maupun sekuler, dalam dikotomi ini, di akui sebagai unsur yang sedang berjuang demi nasionalisme. 

Catatan Penutup

Setelah menelusuri kehidupan dan sedikit pemikiran Tjokro, kita akan mendapatkan kesimpulan singkat bahwa Tjokro berjuang bagi nasionalisme dan juga bagi Islam. Pemahaman Islam pada diri Tjokro, memang tidak terlalu mendalam, tetapi cukup besar diarahkannya bagi suatu praktik propaganda politik. Satu hal yang penting bagi Tjokro, ia berfikir reflektif sebagai respons atas pertautan zamannya. Islam ditemukannya sebagai suatu ideology, dari lorong sempit terali penjara dan juga dari kegagalannya membangun komunitas di Kedung Jati. Islam ditemukannya, setelah nama baiknya dihempaskan akibat skandalnya yang diungkap Dharsono. 

Setelah menemukan Islam, maka Tjokro memberi geist baru bagi Islam yaitu dengan sosialisme, yang coba digali dari dalam Al-Qur’an. Tampaknya, Tjokro sadar akan bahaya sosialisme yang dengan “keseksiannya” banyak menarik pengikut dari aktivis pergerakan. Jika Islam dimaknai secara pasif, bukan suatu unsur yang “seksi”, menarik dan berjuang bagi perubahan, maka langkah Islam tidak akan beranjak dari fungsi praktik ritual belaka. Bagi Tjokro, Islam adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan di persatukan, sebagai dasar kebangsaan yang dibangun dalam proses menuju Indonesia.

Selain melihat Tjokro dari konteks ke-Indonesiaan, tipekal Tjokro adalah type-type manusia perubah. Ia identik dengan Al-Afghani, yang juga merupakan tokoh politik Pan-Islamisme. Tjokro dan Afghani, juga sama-sama menemui kegagalan dalam perjuangan Pan-Islamismenya. Namun, arti penting keduanya, bukan pada kemenangan atau kekalahan. Keduanya menjadi penting, karena menggulirkan sebuah momentum perubahan pemikiran dalam Islam. Keduanya juga menjadi ruh perjuangan bagi kepentingan Islam Politik. Al-Afghani memberi inspirasi kepada Abduh, Ridha dan juga Iqbal dalam praktik pergerakan Mesir dan Pakistan. Sedangkan Tjokro, justru lebih plural, karena inspirasinya mengalir bagi nasionalisme-Islam bahkan komunis.  Adapun kelompok Islam yang menjadikannya sebagai inspirasi adalah kaum modernis Masyumi, seperti Mohammad Natsir, Kasman, Prawoto dan tentu saja anak-anaknya, Anwar dan Harsono. Dengan demikian, Tjokro merupakan mitra dialog aktif bagi zamannya dan juga bagi zaman sesudahnya. Dan ruh Tjokro, masih akan terus “bergerak”, ketika Islam diartikulasikan sebagai penggerak yang aktif, tidak statis! 

DAFTAR PUSTAKA

Amelz, H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Bulan Bintang, 1952. 

Brackman, Arnold. Indonesian Communism, New York: Preager, 1963. 

Dengel, Holk. Darul Islam dan Kartosuwiryo: Sebuah Angan-Angan yang Gagal, Jakarta: Sinar  Harapan, 1997. 

Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta: LkiS, 1998.  

Legge, J.D.  Sukarno, Biografi Politik, Jakarta: Sinar Harapan, 2000.  

Geertz, Clifford. Santri, Abangan dan Priyayi, Jakarta: PT Gramedia, 1982. 

Ingleson, John. Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia 1927-1934, Jakarta: LP3ES, 1988 

Mc.Vey, Ruth. The Rise of Indonesian Communism, Ithaca.NY:Cornell University Press, 1965. 

Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti Press, 1997. 

Tjokroaminoto, HOS. Sosialisme di dalam Islam, dikutip dari Islam, Sosialisme dan Komunisme (editor: Herdi Sahrasad), Jakarta: Madani Press, 2000


 

[1]  Peserta program Pasca-Sarjana departemen sejarah FIB-UI, untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Agama dan Nasionalisme, asuhan DR. Anhar Gonggong.  

[2] Lebih lanjut mengenai pribadi Tjokro lihat Amelz, H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1952).

[3] J.D Legge, Sukarno, Biografi Politik, ( Jakarta: Sinar Harapan, 2000). Dalam hal ini Sukarno menikahi Siti Utari, anak Tjokro yang saat itu masih berusia 15 tahun.

[4] Holk Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo: Sebuah Angan-Angan yang Gagal, (Jakarta: Sinar  Harapan, 1997), hal. 7-10.

[5] Arnold Brackman, Indonesian Communism, (New York: Preager, 1963), hal.24.

[6] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti Press, 1997), hal.72.

[7] Ibid., hal. 310-313. Dalam hal ini disebutkan, bahwa demi kepentingan CSI, masalah ini coba di petieskan. Nama baik Tjokro juga direhabilitasi.

[8] Ibid., hal. 316.

[9] Ibid., hal. 325.

[10] Ruth Mc.Vey, The Rise of Indonesian Communism, (Ithaca.NY: Cornell University Press, 1965) hal. 141-142.

[11] Ibid., hal. 144-145. PSI (Partai Sarikat  Islam) dibentuk sebagai organisasi politik SI. Lama kelamaan justru peran SI digantikan PSI, yang kemudian juga berubah menjadi PSII.

[12] Takashi Shiraisi, Op., Cit, hal. 329.

[13] Menariknya, antara Tjokro dan Wahab Chasbullah (salah satu pendiri NU) pernah bersama-sama aktif dalam politik SI. Lihat Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LkiS, 1998), hal.177.

[14] John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia 1927-1934, (Jakarta: LP3ES, 1988), hal. 81.

[15] Ibid., hal 144.

[16] Harian Sinar Djawa, 18 Maret 1914. Dikutip dari Takashi Shiraishi, Op.,Cit, hal. 80-81.

[17]  Ibid

[18] Istilah ini merujuk kepada trikotomis Clifford Geertz, dalam Santri, Abangan dan Priyayi, (Jakarta: PT Gramedia, 1982).

[19]  Takashi Shiraishi, Op., Cit, hal. 89.

[20] Het S.I Congres.” De Indische Gids.40 (1918).hal.215-218, dikutip dari Takashi Shiraishi, Op., Cit., hal. 141

[21] Ibid., hal. 144.

[22] HOS Tjokroaminoto, Sosialisme di dalam Islam, dikutip dari Islam, Sosialisme dan Komunisme editor: Herdi Sahrasad, (Jakarta: Madani Press, 2000), hal. 1-20.

26 thoughts on “H.O.S Tjokroaminoto

  1. Buat Pak Aji Dedi Mulawarman, silahkan mem-publish artikel ini dengan mencantumkan penulis. Sang fakir ini, berterimakasih apabila artikel ini dapat memberi manfaat bagi para pembacanya. Saya kira, Tjokroaminoto adalah inspirator bagi kita semua!

    afwan..

  2. seorang bapak, tetangga saya bilang, sukarno hanyalah 1/3 nya tjokro.. dan sejak saat itu, saya mencari tahu siapa pahlawan terlupakan ini

  3. meski beliau tidak dilahirkan dari kalangan santri, tetapi ide-ide beliau tentang rumusan nilai-nilai pendidikan islam sangat cemerlang. beliau merupakan nasionalis yang memandang pentingnya pendidikan dengan sudut agama juga.

    saya juga sedang membutuhkan karya-karya tjokroaminoto, maupun karya penulis lain yang mengulas secara komprehensif ide-ide cemerlang beliau.

  4. ini baru tokoh pergerakan….

    yang lain yang ditulis sejarah tau ah gelap…. penuh rekayasa. dari mulai emansipasi yang di separasi sampai kapiten pattimura yang ternyata juga hasil rekayasa dari pahlawan lokal…. waduh… ya Alloh bebaskan kami dari pembodohan….

    thanks ya mas buat blog nya… ane tampung dan ane resapi dalem2…

  5. kebetulan saya lagi nulis skripsi tentang sarekat islam.setelah cari data dan membacasumber dan arsip,maka paradigma saya tentang pergerakan nasional berubah. ternyata memang sejarah tak sepenuhnya tercover dengan benar.wacana tentang sarekat islam dan tjokroaminoto mesti diekspose untuk dapat menyajikan sejarah yang benar.bahwa gerbong pergerakan nasional adalah dengan peran yang begitu besar pada organisasi sarekat islam yang radikal dan revolusioner bukannya budi utomo yang feodalistik.

  6. Assalamu’alaikum
    terima kasih atas hasil analisis anda sebagai seorang anak bangsa. tapi ana agak terganjal dg analisis lokal ini. sebab islam adalah rahmatan lil a’lamin, jd tak mungkin pergerakan beliau hanya karena hasil pemikiran pendek tersebut. sebab dlm al quran telah jelas bahwa apa yg kamu anggap benar blm tentu benar menurut Allah (Al Quran dan sunnah nabi dalam melaksanakan Al Quran) dan sebaliknya. ana jg ingin tau siapa guru dia

  7. dan jg analisis anda ttg pergerakan beliau d hub dg sunnah dan al quran. sebab jk beliau bersunnah, maka akan ada surat dan ayat yg berhub dg gerak dan langkah beliau. islam adalah pergerakan hamba/abid dlm menjalankan Al Quran baik suka maupun terpaksa. Ibrah ada dua sisi. analisis yg hak adalah analisis yg berkaitan dg Al Quran jk memang anda seorg yg mengaku islam walaupun org musyrik membenci. wassalam

  8. mas, sekarang ini saya ingin mempelajari segala sesuatu tentang pak tjokro. saya sepaham dg panjenengan karena dari eyan tjokro lah indonesia ini bisa berwarna warni aliran politiknya. mungkin dg membuka source informasi pak Tjokro ini selebar-lebarnya kita dapat membenahi tatanan politik yg sudah carut marut ini. Jika berkenan mungkin bisa di share buku2 panjenengan, lebih2 kalo udah dibuat format PDF.

    salam perubahan

  9. saya lagi nulis tentang HOS cokroaminoto..
    boleh juga tu aku di kirimi data2 tentang cokro, khususnya tentang penggalangan masa ala cokro..

  10. Boleh taw cerita tentang HOS Tjokroaminoto yang masi muda yang memiliki jiwa satria..? Sifat dan pemikiran seperti apakah yang menuntun HOS Tjokroaminoto menuju perjuangan kemerdekaan dalam konteks islam yang lebih luas..??

  11. HOS Tjokro memang mengajarkan Agama-sosialis-nasionalis sebagaimana Al Quran mengajarkan POLEKSOSBUD HANKAM. Jd tidak ada tuh pemisahan agama ya agama, sosialis ya sosialis, nasionalis ya nasionalis. Dari zaman Samudra Pasai, Demak, zaman2 tsb menggunakan dasar Islam dalam pemerintah kerajaan. Tjokro tinggal meneruskannya saja sesuai perkembangan zaman. Sayang di sayang murid2nya.. Soekarno yg terlalu dekat dgn Belanda memisah kan dasar Islam dengan faham nasionalis, Musso terlalu berpaham sosialis dan mendekati komunis. Karto Suwiryo yg meneruskan dasar Islam entah bagaimana dianggap pemberontak aliran kanan. Ya mungkin krn Soekarno adalah presiden kita disaat itu. Yg dianggap berbeda jalan dengan pemerintah,ya dianggap pemberontak. . Ya, bangsa baik baik adalah bangsa yg mengenal sejarahnya kan. Ya manusia tidak luput dari salah krn yg Maha Benar hanya Allah swt.

  12. assalamualaikum..
    thank’s ya pak artikelnya kebetulan saya ada tugas ya langsung copy dan di rangkum.sekali lagi terima kasih artikelnya sangat bermanfaat.
    wassalam

  13. Ping-balik: Antara Tjokroaminoto, Pahlawan dan @Poconggg | bukik ideas

  14. Penulis ini kan murid pak Anhar Gonggong, kenapa buku bliau tentang pak Tjokro tidak disebut di daftar pustaka. Terlebih lagi sepertinya yang membagi Tjokro sebelum haji dan sesudah haji itu kan pak Anhar Gonggong ya.

    Jangan dipaksakan dengan paradigma nasionalisme islam seperti itu. Ungkap sejarah dengan jujur, supaya kebenaran juga terungkap. Jangan tinggalkan jejak2 menyesatkan pada generasi2 muda. Mereka butuh kebenaran yang sebenarnya. Kalau memang pikiran pak Tjokro berubah setelah haji, ya sampaikan saja apa adanya dan seterang-terangnya.

  15. pernah baca buku agus salim, yg menyebutkan bahwa ketika itu agus salim tertarik dengan tjokroaminoto karena kagum dan kaget melihat pada saat itu ternyata ada orang yang benar2 dipuja-puja, bahkan banyak orang yang mencium kakinya.

    saya jadi sangat penasaran dengan sosok beliau.
    tidak banyak referensi yang bisa kita baca tentang beliau.
    seorang yg kurang dikenal sejarah Indonesia, namun sebenarnya beliau sangat dipuja rakyat saat itu karena sudah lama tidak-ada raja di Jawa.

Tinggalkan komentar